Kamis, 11 Desember 2014

TEORI KONSERVASI MASALAH KEKERINGAN AIR

Posted by Unknown On 23.52


BAB I
       PENDAHULUAN

            A. Latar Belakang
Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah:
1.                  Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
2.                  Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
3.                  (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
4.                  Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
5.                  Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Di Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan, Konservasi [sumber daya alam hayati] adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar alam dan suaka margasatwa merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Cagar alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwanya.
Taman nasional mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Konflik
Di ekosistem hutan, biasanya konflik konservasi muncul antara satwa endemik dan pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Karena habitatnya menciut dan kesulitan mencari sumber makanan, akhirnya satwa tersebut keluar dari habitatnya dan menyerang manusia. Konflik konservasi muncul karena:
1.                  Penciutan lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)
2.                  Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai contoh, penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)
3.                  SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.
4.                  Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu atau merusak keseimbangan alami yang ada.
Kemudian, konflik semakin parah jika :
1.                  SDA berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI, HPH (kepentingan politik ekonomi)
2.                  Pemerintah dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip pelestarian SDA dan lingkungan.
3.                  Perambahan dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.

Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
1.                  Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/'tropical rain forest' yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
2.                  Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
3.                  Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4.                  Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
5.                  Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6.                  Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).

Kebijakan
Di Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:
1.                  PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
2.                  PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa
3.                  PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL
4.                  PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).

B. Rumusan Masalah
1.                  Bagimana penerapan konsep konservasi pada maslah kekringan air ?

C. Tujuan
1.                  Mengetahui, serta memahami penerapan konsep konservasi untuk mengatasi masalah kekeringan air.



BAB II
  PEMBAHASAN

Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal.

Klasifikasi Kekeringan
Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :

a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
1.                  kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di bawah normal)
2.                  sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan jauh di bawah normal)
3.                  amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).


b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
1.                  kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan
2.                  sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
3.                  amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan

c. Kekeringan Pertanian
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
1.                  kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang)
2.                  sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena berat)
3.                  amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)

d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.

e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.

Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
1.                  Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
2.                  Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
3.                  Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.

Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara meninjaunya.
Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air.
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air selama pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.

Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
1.                  Petani tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya dan kapan saja.
2.                  Terjadinya perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau lebih awal atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air untuk tanaman tak mencukupi.
3.                  Terjadi kerusakan jaringan pengairan.
4.                  Keadaan ekstrim.

Langkah-Langkah yang Dilakukan untuk Menghadapi Kemungkinan Kekeringan
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.

Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
1.                  Pembuatan peta kekeringan
2.                  Penentuan tipe-tipe iklim di daerah kita
Peta kekeringan dapat diperoleh dari instansi terkait yang mempunyainya. Mungkin di dinas pertanian setempat, dan lain-lain. Kami di stasiun Klimatologi Banjarbaru Badan Meteorologi dan Geofisika memberikan layanan tersebut.



Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
1.                  Rata-rata curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun).
2.                  Curah hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan.
3.                  Curah hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah longsor.
4.                  Peta dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan. Faktanya agar dilakukan evaluasi di lapangan.

Adapun kriteria yang digunakan dalam curah hujan bulanan adalah:
1.                  Rendah, bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan
2.                  Sedang, bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan
3.                  Tinggi, bila curah hujan di atas 300 mm/bulan

Penentuan tipe iklim antara lain:
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.

b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:
1.                  Bulan kering jika curah hujan satu bulan kurang dari 60 mm.
2.                  Bulan lengas jika curah hujan satu bulan antara 60 mm sampai 100 mm
3.                  Bulan basah jika curah hujan satu bulan lebih dari 100 mm
Penggolongan iklim menurut Mohr ditentukan oleh banyaknya bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering dari rata-rata curah hujan bulanan selama periode beberapa tahun pada umumnya 10 tahun.

c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah.


d. Tipe Iklim Boerema
Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :

1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.

2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.

3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.


d. Tipe Iklim Oldeman
Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.
1.                  Bulan basah (BB) : Bulan dengan curah hujan satu bulan > 200 mm
2.                  Bulan lembab (BL) : Bulan dengan curah hujan satu bulan 100-200 mm
3.                  Bulan kering (BK) : Bulan dengan curah hujan satu bulan < 100 mm.

Oldeman membagi tipe utama iklim menjadi 5 katagori yaitu A, B, C, D dan E berdasarkan jumlah bulan basah secara berturut-turut.

Sedangkan subdivisi ditentukan menjadi 4 didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut.


Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe iklim Oldeman sebagai berikut:




Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung rata-ratanya.

B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut :
KL = TLP =

Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah

Langkah-langkah penghitungan :
1.                  Kolom curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan.
2.                  Kolom evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput) dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney Criddle dan seterusnya.
3.                  Kolom CH - ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial
4.                  Kolom APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH - ETp negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp negatif.
5.                  Pengisian kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan’ tabel Soil Moisture retention atau rumus sebagai berikut :
6.                  k = 1.000412351 + (-1.073807306)/KL
7.                  Kolom DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT bulan sebelumnya.
8.                  Kolom ETa (Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada bulan-bulan terjadi APWL (CH <>
9.                  Kolom defisit (D) diisi ETp-ETa
10.              Kolom surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT.
Lalu disusun neraca air lahan sesuai langkah-langkah tersebut di atas. Detil dan aplikasi dari neraca air lahan akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.

C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
1.                  Memanasnya suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di atas rata-ratanya (penyimpangan positif) > 1.5 °C di kawasan equator Samudera Pasifik bagian timur. Mendinginnya suhu muka laut hingga di bawah rata-ratanya (penyimpangan negatif) < -1,5 °C di kawasan Indonesia.
2.                  Perubahan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) nilai negatif (< -10)
3.                  Melemahnya angin pasat timur di atas perairan Samudera Pasifik hingga di bawah normalnya.
Efek dari kejadian El Nino untuk daerah Indonesia, mengakibatkan curah hujan berkurang. Sehingga yang perlu kita waspadai bila El Nino terjadinya pada musim kemarau dan efek terburuknya bisa terjadi kekeringan. Bila terjadinya pada musim hujan hanya mengakibatkan curah hujannya berkurang.
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.

D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
1.                  Permulaan musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi.
2.                  Perbandingan terhadap rata-ratanya yang menginformasikan maju mundurnya awal musim.
3.                  Sifat hujan yang menginformasikan berapa besar dan sifat curah hujan selama musim tersebut.
Informasi ini dapat dipergunakan untuk mempertajam tingkat kecurigaan kita terhadap kekeringan. Misalnya sudah terindikasi kemungkinan akan terjadi kekeringan, selanjutnya musim kemarau yang diprakirakan terjadi lebih awal atau kemaraunya lebih panjang. Maka ini dapat memperkuat indikasi akan terjadinya kekeringan.

E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.



BAB III
 PENUTUP
KESIMPULAN
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal.
Dan kekringan dapat di atasi dengan melalui konsep konservasi yaitu :
4.                  Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
5.                  Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
6.                  (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
7.                  Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
8.                  Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.


Daftar Pustaka
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi (diakses tanggal 29 September 2013).


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

  • Blogger news

  • Blogroll

  • About