BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Konservasi adalah pelestarian atau
perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya
pelestarian atau perlindungan.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah:
1.
Upaya
efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang
berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang
sama tingkatannya.
2.
Upaya
perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya
alam
3.
(fisik)
Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia
atau transformasi fisik.
4.
Upaya
suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
5.
Suatu
keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara
keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan
lingkungan alaminya.
Di Indonesia, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, Konservasi [sumber daya alam hayati] adalah pengelolaan
sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar alam dan suaka margasatwa merupakan
Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Cagar alam karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwanya.
Taman nasional mempunyai ekosistem
asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Konflik
Di ekosistem hutan, biasanya konflik
konservasi muncul antara satwa endemik dan pengusaha HPH (Hak Pengusahaan
Hutan). Karena habitatnya menciut dan kesulitan mencari sumber makanan,
akhirnya satwa tersebut keluar dari habitatnya dan menyerang manusia. Konflik
konservasi muncul karena:
1.
Penciutan
lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)
2.
Pertumbuhan
jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai contoh,
penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)
3.
SDA
diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.
4.
Masuknya/introduksi
jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu atau
merusak keseimbangan alami yang ada.
Kemudian, konflik semakin parah
jika :
1.
SDA
berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI,
HPH (kepentingan politik ekonomi)
2.
Pemerintah
dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada
prinsip pelestarian SDA dan lingkungan.
3.
Perambahan
dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok
tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
1.
Karakteristik,
keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/'tropical rain forest'
yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
2.
Habitat
penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus:
endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau
terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung
seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin).
Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
3.
Tempat
yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4.
Lansekap
(bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
5.
Fungsi
perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6.
Pengusahaan
wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
Kebijakan
Di Indonesia, kebijakan konservasi
diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP),
diantaranya:
1.
PP
68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA)
2.
PP
7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa
3.
PP
8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL
4.
PP
36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman
nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagimana penerapan konsep
konservasi pada maslah kekringan air ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui, serta memahami penerapan
konsep konservasi untuk mengatasi masalah kekeringan air.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana
yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan
adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan
hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di
suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah
tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi
kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda
tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang
terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin
sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada
periode tahun dalam keadaan kondisi normal.
Klasifikasi Kekeringan
Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan
tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu
musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama
terjadinya kondisi kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
1.
kering
: apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di bawah
normal)
2.
sangat
kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan
jauh di bawah normal)
3.
amat
sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah
hujan amat jauh di bawah normal).
b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini berkaitan dengan
berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur
dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara
berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau
dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal
terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
1.
kering:
apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan
2.
sangat
kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah
periode 25 tahunan
3.
amat
sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat
jauh di bawah periode 50 tahunan
c. Kekeringan Pertanian
Kekeringan ini berhubungan dengan
berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan
pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
1.
kering
: apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang)
2.
sangat
kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena
berat)
3.
amat
sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan ini terjadi berhubungan
dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan
normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan
hidrologis.
e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena
ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari
pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola
tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai
akibat dari perbuatan manusia.
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
1.
Rawan:
apabila penutupan tajuk 40%-50%
2.
Sangat
rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
3.
Amat
sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Batasan tentang kekeringan bisa
bermacam-macam tergantung dari cara meninjaunya.
Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah
tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman
pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman,
tanah dan air.
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai
kebutuhan air yang berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada
setiap tahap pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air
selama pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif
tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan
terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode
pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari
satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke
tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Tanah merupakan faktor yang menentukan
pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk
menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan.
Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya
kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh
dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan
terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan
dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan
air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan
sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari
kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
1.
Petani
tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya dan kapan
saja.
2.
Terjadinya
perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau lebih awal
atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air untuk
tanaman tak mencukupi.
3.
Terjadi
kerusakan jaringan pengairan.
4.
Keadaan
ekstrim.
Langkah-Langkah yang Dilakukan untuk
Menghadapi Kemungkinan Kekeringan
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah
daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk
terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan
adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana
irigasi.
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
1.
Pembuatan
peta kekeringan
2.
Penentuan
tipe-tipe iklim di daerah kita
Peta kekeringan dapat diperoleh dari
instansi terkait yang mempunyainya. Mungkin di dinas pertanian setempat, dan
lain-lain. Kami di stasiun Klimatologi Banjarbaru Badan Meteorologi dan
Geofisika memberikan layanan tersebut.
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
1.
Rata-rata
curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun).
2.
Curah
hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan.
3.
Curah
hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah
longsor.
4.
Peta
dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan. Faktanya agar
dilakukan evaluasi di lapangan.
Adapun kriteria yang digunakan dalam
curah hujan bulanan
adalah:
1.
Rendah,
bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan
2.
Sedang,
bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan
3.
Tinggi,
bila curah hujan di atas 300 mm/bulan
Penentuan tipe iklim antara lain:
a. Tipe iklim Thornwaite
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu
hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut
dengan indeks kelengasan.
b. Tipe iklim Mohr
b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan
yaitu:
1.
Bulan
kering jika curah hujan satu bulan kurang dari 60 mm.
2.
Bulan
lengas jika curah hujan satu bulan antara 60 mm sampai 100 mm
3.
Bulan
basah jika curah hujan satu bulan lebih dari 100 mm
Penggolongan iklim menurut Mohr
ditentukan oleh banyaknya bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering dari
rata-rata curah hujan bulanan selama periode beberapa tahun pada umumnya 10
tahun.
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide
Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai
perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan
kering dan rata-rata banyaknya bulan basah.
d. Tipe Iklim Boerema
Boerema menggolongkan tipe iklim
berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe
iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim
kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :
1. Pola equatorial
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali
puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial
mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.
2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas
antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada
periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.
3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi
geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan
pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun.
Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah
berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola
lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
d. Tipe Iklim Oldeman
Oldeman membuat dan menggolongkan
tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan
bulan-bulan kering secara berturut-turut.
1.
Bulan
basah (BB) : Bulan dengan curah hujan satu bulan > 200 mm
2.
Bulan
lembab (BL) : Bulan dengan curah hujan satu bulan 100-200 mm
3.
Bulan
kering (BK) : Bulan dengan curah hujan satu bulan < 100 mm.
Oldeman membagi tipe utama iklim
menjadi 5 katagori yaitu A, B, C, D dan E berdasarkan jumlah bulan basah secara
berturut-turut.
Berdasarkan lima tipe utama dan
empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona
agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang
disebut skema segitiga. Kriteria tipe iklim Oldeman sebagai berikut:
Data yang diperlukan adalah data
curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos
hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung rata-ratanya.
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah
yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan
salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air
Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air
dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi
air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman,
evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang
menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur
dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian
analisis sebagai berikut :
KL = TLP =
Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah
Langkah-langkah penghitungan :
Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah
Langkah-langkah penghitungan :
1.
Kolom
curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan.
2.
Kolom
evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput)
dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan
tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney Criddle
dan seterusnya.
3.
Kolom
CH - ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial
4.
Kolom
APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH - ETp
negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp
negatif.
5.
Pengisian
kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan’ tabel Soil
Moisture retention atau rumus sebagai berikut :
6.
k
= 1.000412351 + (-1.073807306)/KL
7.
Kolom
DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT bulan
sebelumnya.
8.
Kolom
ETa (Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada
bulan-bulan terjadi APWL (CH <>
9.
Kolom
defisit (D) diisi ETp-ETa
10.
Kolom
surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT.
Lalu disusun neraca air lahan sesuai
langkah-langkah tersebut di atas. Detil dan aplikasi dari neraca air lahan akan
dijelaskan pada posting yang akan datang.
Setelah mengetahui daerah-daerah
yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi
atau tidak El Nino dan La Nina.
C. El-Nino
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan
berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan
timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan
bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan
tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El
Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
1.
Memanasnya
suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di atas rata-ratanya (penyimpangan
positif) > 1.5 °C di kawasan equator Samudera Pasifik bagian timur.
Mendinginnya suhu muka laut hingga di bawah rata-ratanya (penyimpangan negatif)
< -1,5 °C di kawasan Indonesia.
2.
Perubahan
tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) nilai negatif (< -10)
3.
Melemahnya
angin pasat timur di atas perairan Samudera Pasifik hingga di bawah normalnya.
Efek dari kejadian El Nino untuk daerah Indonesia,
mengakibatkan curah hujan berkurang. Sehingga yang perlu kita waspadai bila El
Nino terjadinya pada musim kemarau dan efek terburuknya bisa terjadi
kekeringan. Bila terjadinya pada musim hujan hanya mengakibatkan curah hujannya
berkurang.
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di
Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya
dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif.
Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan
positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya
curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim
hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya
El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan
Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan
Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
1.
Permulaan
musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi.
2.
Perbandingan
terhadap rata-ratanya yang menginformasikan maju mundurnya awal musim.
3.
Sifat
hujan yang menginformasikan berapa besar dan sifat curah hujan selama musim
tersebut.
Informasi ini dapat dipergunakan
untuk mempertajam tingkat kecurigaan kita terhadap kekeringan. Misalnya sudah
terindikasi kemungkinan akan terjadi kekeringan, selanjutnya musim kemarau yang
diprakirakan terjadi lebih awal atau kemaraunya lebih panjang. Maka ini dapat
memperkuat indikasi akan terjadinya kekeringan.
E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas
II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan
dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk
Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas
II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka
dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka
Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user
dan bagi stasiun.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana
yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan
adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan
hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di
suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah
tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi
kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda
tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang
terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin
sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada
periode tahun dalam keadaan kondisi normal.
Dan kekringan dapat di atasi dengan
melalui konsep konservasi yaitu :
4.
Upaya
efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang
berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang
sama tingkatannya.
5.
Upaya
perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya
alam
6.
(fisik)
Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia
atau transformasi fisik.
7.
Upaya
suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
8.
Suatu
keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara
keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan
lingkungan alaminya.
Daftar Pustaka
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi (diakses tanggal 29 September 2013).
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi (diakses tanggal 29 September 2013).
http://ustadzklimat.blogspot.com/2009/04/pengertian-kekeringan-dan-langkah.html
(diakses tanggal 29 September 2013).
Categories:
0 komentar:
Posting Komentar